Jaminan Hari Tua (JHT) adalah iuran uang tunai yang dibayarkan oleh perusahaan untuk karyawan terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK). Saldo tersebut dapat dicairkan saat peserta resign dari pekerjaan, pensiun, meninggal dunia, atau kehilangan kemampuan untuk bertahan hidup (cacat). Lantas, apakah saldo JHT yang belum diambil boleh ditunaikan menjadi zakat?
Melansir dari Dr. Oni Sahroni selaku anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, saldo JHT merupakan akumulasi dari iuran bulanan yang berasal dari potongan gaji ditambah hasil pengembangannya. Maka dari itu, BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola harus transparan kepada peserta tentang besaran saldo.
Daftar Isi
Apakah saldo JHT wajib dizakatkan?
Untuk wajib zakat atau tidak, maka perlu ditelaah dari dua poin;
Pertama: Adanya bunga ribawi pada saldo yang dikembangkan oleh pengelola. Nilai saldo tidak statis, melainkan bertambah karena dikelola oleh lembaga. Jika saldo JHT ditempatkan di portofolio konvensional, maka tidak boleh diakui sebagai penghasilan karena dana tersebut nonhalal.
Berdasarkan standar syariah internasional AAOFI Nomor 21 Tentang Saham bahwa pendapatan nonhalal tidak boleh digunakan untuk membayar zakat. Hal tersebut dipertegas kembali oleh fatwa DSN MUI Nomor 123/DSN-MUI/XI/2018 Tentang Penggunaan Dana Yang Tidak Boleh Diakui Sebagai Pendapatan Bagi Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Bisnis Syariah, dan Lembaga Perekonomian Syariah.
Kedua: Jika saldo — di luar bunga pengembangan — mencapai nisab yang setara dengan nilai 85 gram emas dan telah disimpan selama 12 bulan (1 tahun), maka ulama memiliki perbedaan pendapat.
Sebagian ulama menyatakan bahwa saldo JHT tidak wajib dizakatkan karena secara fisiknya belum diterima secara utuh oleh peserta. Sementara itu, sebagian ulama yang lain menyatakan saldo JHT wajib ditunaikan zakat. Meskipun fisiknya belum diterima, tetapi uang tersebut memiliki kepemilikan sempurna.
Kepemilikan sempurna adalah pemilik uang dapat menggunakan saldonya sesuai kebutuhan. Adalah hak setiap peserta untuk mencairkan saldo JHT untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam, seperti jadi dana darurat, modal, dan lain sebagainya.
Bagaimana jalan tengahnya?
Dr. Oni Sahroni menjelaskan, sama seperti piutang dan gadai, upah yang berasal dari riba (dana nonhalal) tidak wajib dizakatkan menurut para ulama. Sebagai jalan tengah, pengembangan dari hasil saldo JHT dapat disumbangkan sebagai infak dan sedekah.
Misanya, total premi JHT yang terkumpul sebanyak 100 juta dan bunga pengembangan di portofolio konvensional sebesar 10 juta. Maka, yang wajib ditunaikan 2,5% sebagai zakat penghasilan adalah nominal 100 juta, sedangkan nominal 10 juta disalurkan sebagai infak, sedekah, atau wakaf. (Zakat.or.id/Halimatussyadiyah)