Rabiulawal atau yang dikenal oleh masyarakat Arab yaitu Rabi’ al-Anwar merupakan bulan ke-tiga dalam kalender hijriyah setelah bulan Muharram dan Safar. Sebagian besar masyarakat Indonesia menamainya sebagai bulan maulid karena pada bulan ini terdapat peristiwa kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga banyak yang merayakan dengan berbagai acara di berbagai daerah. Terlepas dari perbedaan pandangan terkait perayaan yang dilaksanakan, apakah kita mengetahui sejarah bulan rabiulawal atau bulan maulid itu sendiri? Apa yang membuat bulan ini penuh keistimewaan dan dapat menjadi sumber keteladanan umat islam?
Daftar Isi
Asal-usul Bulan Rabiulawal
Penanggalan hijriyah tidak hanya berkaitan dengan agama saja, namun sebenarnya berkaitan dengan gejala alam melalui ilmu pengetahuan astronomi yang berdasarkan pergerakan bulan (qomariyah). Permulaan tahun hijriyah ini dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang muncul inisiatifnya pada bulan Muharram dan terealisasi di bulan rabiulawal. Sebagian besar penamaan bulan hijriyah diambil dari kondisi alam atau musim saat itu, termasuk bulan rabiulawal itu sendiri.
Secara umum masyarakat Indonesia mengenal ejaan bulan ini sebagai Rabiul Awwal atau rabiul awal (menggunakan spasi). Ejaan yang benar menurut Kamus Besar Berbahasa Indonesia yaitu rabiulawal (tanpa spasi). Rabiulawal sendiri berasal dari kata bahasa arab yakni Rabi’ yang secara umum menunjukkan keadaan tanaman yang mulai bermekaran dan berbuah atau direpresentasikan sebagai musim semi. Masyarakat arab sendiri membagi Rabi’ membagi dua macam, yaitu rabi’ as-syuhur dan rabi’ al-azminah. Rabi’ as-syuhur terbagi menjadi dua yaitu Rabi’ul awal dan Rabi’ul tsani/Rabi’ul akhir, pembagian ini menjadi asal-usul yang digunakan pada kalender hijriyah untuk bulan rabiulawal dan rabiulakhir. Kemudian, Rabi’ al-azminah sebagai kondisi yang terjadi pada musim semi itu sendiri, terbagi menjadi kharif (gugur), syitaa’ (dingin), shayf (panas), dan qayzh (puncak panas).
Penggunaan kata Rabi’ oleh masyarakat arab memiliki dua makna, karena dapat berarti musim dan bulan. Sebagai pembeda mereka menambahkan kata syahr (bulan) sehingga penyebutannya menjadi syahr rabi’ al-awwal dan syahr rabi’ al-akhir.
Baca Juga: Sejarah Kalender Hijriyah yang Wajib Diketahui Umat Muslim
Bulan Rabiulawal yang Penuh Keteladanan
Meskipun bukan termasuk kategori 4 bulan suci/haram seperti Muharram dan Dzulhijjah, lantas mengapa bulan rabiulawal dianggap mulia oleh umat islam? Karena bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi Nabi mulia panutan umat di seluruh alam semesta, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Pada bulan rabiulawal Rasulullah dilahirkan yang mengguncang alam semesta, Rasulullah pun melakukan perjalanan hijrah sampai ke Madinah pada bulan ini yang dimulai dari akhir bulan Safar. Rasulullah pun meninggal dunia di pertengahan bulan ini pada tahun 11 Hijriyah. Kemuliaan bulan ini dapat menjadi pemicu umat muslim untuk bermuhasabah agar kita terus mengenal dan meneladani kehidupan Sang Pembawa rahmat untuk alam semesta. Berikut 7 keteladanan yang dapat terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari hingga kita mendapat syafaatnya di yaumul akhir kelak.
Kemuliaan Akhlak
Keteladanan pertama yang dapat kita contoh di bulan rabiulawal yaitu tentang akhlak yang mulia. Akhlak Rasulullah merupakan kiblat akhlak yang perlu diteladani oleh setiap manusia. Bahkan kemuliaan dan keagungan akhlak Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam (Arti Qalam: pena). Allah berfirman,
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti (akhlak) yang agung” (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Menurut tafsir Kemenang RI, ayat ini menyatakan bahwa Nabi Muhammad mempunyai akhlak yang agung merupakan pujian Allah kepada beliau, yang jarang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang lain. Secara tidak langsung, ayat ini juga sebagai klarifikasi bahwa tuduhan-tuduhan orang musyrik bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang gila merupakan tuduhan yang tidak beralasan sedikit pun. Secara logis semakin baik akhlak atau budi pekerti seseorang, semakin jauh pula dari penyakit gila. Rasulullah adalah seorang yang berakhlak agung nan mulia, sehingga sangat jauh dari perbuatan gila. Beliau diamanahkan tugas menyampaikan agama Allah untuk manusia diseluruh alam semesta agar dengan menganut agama inilah mereka mempunyai akhlak yang mulia. Hal ini dikuatkan dari hadist riwayat Ahmad dari Abu Hurairah, beliau bersabda.
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia (dari manusia).” (HR. Ahmad)
Kesederhanaan dalam Hidup
Meskipun memiliki nama dengan pengaruh besar, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai khalifah dan manusia terbaik tetap memilih untuk hidup dengan sederhana. Berbagai sumber telah banyak meriwayatkan kesederhanaan Nabi, salah satunya dalam cara berpakaian. Hadits Bukhari-Muslim meriwayatkan tentang seorang Arab badui yang mengajukan beberapa pertanyaan penting dan mendasar kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika beliau sedang berkumpul bersama para sahabatnya di masjid.
Namun yang menarik, perhatikan bagaimana ketika orang badui ini masuk ke masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedang bersama para sahabatnya, datanglah seorang lelaki sambil menunggang unta, lalu ia meminggirkan untanya di masjid kemudian mengikatnya. Ia bertanya: ‘Siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad?’ ” (HR. Bukhari no. 63, Muslim no. 12).
Jadi lelaki badui ini hendak mencari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, seorang Rasul, namun dia tidak melihat orang yang penampilannya mencolok atau berbeda sendiri. Oleh karenanya dia bertanya dalam kelompok Rasul dan para sahabatnya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berpenampilan sebagaimana para sahabat, tidak mencolok dan berbeda walaupun Beliau seorang yang paling mulia di antara mereka.
Baca Juga: Kisah Hidup Rasulullah Lengkap dari Lahir hingga Wafat
Keberanian
Hal yang bisa kita teladani di bulan rabiulawal yaitu tentang keberanian Nabi yang menjadi perbincangan banyak kalangan. Perintah dakwah yang diterima Rasul dilalui dengan berat, terutama saat berada di Mekkah. Penolakan demi penolakan terus diterima, namun beliau tidak gentar untuk memerjuangkan jalan dakwahnya. Selain itu keberanian beliau dibuktikan dengan pelbagai perang yang dihadapi untuk berjuang menegakkan agama Allah, antara lain perang Badar, perang Uhud, perang Ahzab, perang Hunain, hingga perang Tabuk.
Keadilan
Sebagai khalifah terbaik hingga akhir zaman, Nabi SAW menjunjung tinggi keadilan dalam memimpin bahkan kesehariannya. Beliau tidak membedakan suku, ras, agama, bahkan jabatan dalam memberikan perlakuan yang adil. Beberapa teladan tentang keadilan Nabi Muhammad SAW tercermin ketika suatu hari ada seorang wanita kaya raya berketurunan bangsawan melakukan tindakan pencurian. Dengan ketegasan beliau, wanita tersebut dihukum sesuai dengan aturan yaitu hukum potong tangan. Ketika saudara wanita tersebut meminta tolong kepada Usamah bin Zaid, sahabat yang dicintai Rasul, Beliau pun marah. Kisah ini mengajarkan umatnya bahwa keadilan adalah nilai yang sangat penting dan tidak boleh dikompromikan dalam keadaan apapun.
Rendah Hati
Sifat rendah hati Rasulullah SAW tercermin salah satunya pada saat kemenangan Mekah (Fathu Makkah). Ketika itu beliau dengan puluhan ribu muslim berbaris ke Mekah tanpa perang, tanpa pertempuran, dan tanpa pertumpahan darah berhasil mendapat kemenangan sehingga Rasulullah kembali ke Mekah setelah berhijrah. Apabila pemimpin lain berkuda dengan membusungkan dadanya ketika memenangkan pertempuran suatu wilayah, tidak dengan baginda Nabi Muhammad SAW. Ketika Beliau masuk ke Mekah setelah menunggu dua puluh tahun lamanya, Dia mengendarai unta dibelakang pasukan dengan tidak diiringi suara terompet dan genderang. Rasulullah hidup dengan sederhana dan tidak pernah memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Beliau juga sering membersihkan rumah dan melayani tamu dengan sederhana.
Kasih Sayang Terhadap Anak-Anak
Diantara kemuliaan akhlaknya terhadap para sahabat dan lingkungan sekitarnya, Nabi Muhammad SAW sangat peduli dan penyayang terhadap anak-anak. Hadits Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali dan di sisinya ada Al Aqra’ Bin Harits, maka ia berkata:
“Sesungguhnya aku memiliki 10 orang anak dan aku tidak pernah mencium mereka. Maka Beliau bersabda
“Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayang”
Hadits ini menunjukkan kasih sayang beliau yang mendalam terhadap anak-anak, bahkan beliau juga mendoakan anak-anak dalam kebaikan meskipun bukan anak beliau sendiri. Rasulullah tak pernah mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya di atas dada atau di antara kedua bahu Ibnu Abbas sembari berdoa: “Ya Allah, berilah ia pemahaman ilmu agama dan ajarilah ia tafsir”.
Baca Juga: Ketahui 10 Dosa Orang tua yang Sering Dilakukan Terhadap Anak
Kelembutan beliau juga lakukan ketika menasehati dan membimbing anak-anak agar mereka memiliki akhlak yang baik. Rasulullah memilih kata-kata yang mudah dimengerti, sehingga nasehat tersebut merasuk dalam jiwa anak.
Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku adalah anak kecil di rumah Nabi, maka ketika makan, tanganku menjelajah di atas nampan. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku dengan lembut:
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu”.
Berdasarkan kisah Rasul yang memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih ini, dapat menjadi teladan kita sebagai umatnya agar keluarga sebagai pendidikan pertama dapat mendukung tumbuh kembang anak yang sholih dan sholihah.
Kepemimpinan
Keteladanan yang terakhir yang dapat menjadi muhasabah di bulan rabiulawal ini yaitu tentang kepemimpinan beliau. Sifat kepemimpinan Rasulullah SAW dapat tergambar salahsatunya dalam Al-Quran surat At-Taubah, Allah berfirman.
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)
Ayat ini dapat menunjukkan 4 hal tentang keteladanan Nabi SAW sebagai seorang khalifah secara umum. Pertama, Beliau merupakan seorang Rasul yang diutus oleh Allah SWT yang tampil dalam wujud manusia yang mampu merasakan lapar, haus, kedinginan, kelaparan, dapat terluka, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi hikmah untuk memudahkan umatnya dalam meneladani kesabaran, kedekatannya dengan umat, memahami dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Kedua, Rasulullah memiliki empati yang tinggi terhadap kondisi umat, bahkan dalam hal ibadah sekalipun. Kisah inspiratifnya ketika Rasulullah pernah menegur sahabatnya yang membaca bacaan yang terlalu panjang saat memimpin shalat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam perlu memperhatikan makmumnya apakah mereka mampu berdiri menunggu bacaan yang lama, dalam hal ini seperti orang-orang tua atau yang sedang safar.
Baca Juga: Kisah Teladan Nabi Muhammad Sang Motivator
Pemimpin Rahmatan Lil ‘Alamin yang Penyantun dan Penyayang
Ketiga, Menurut tafsir Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir atau familiar dengan Ibnu Katsir, Rasulullah sangat menginginkan umatnya memperoleh hidayah keimanan sehingga akan mendapatkan manfaat keselamatan dunia dan akhirat.
Keempat, sifat rauf (Santun) dan rahiim (penyayang) yang dilekatkan Allah kepada Nabi ,menunjukkan keistimewaan pribadi yang mulia. Kedua sifat ini merepresentasikan karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar terhadap masyarakat. Beliau gemar memaafkan dan memohonkan ampunan ketika umatnya melakukan kesalahan, bermusyawarah, dan bertawakal, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 159)
Demikian keteladanan yang dapat kita contoh di bulan rabiulawal, bulan mulia yang penuh sejarah tentang Nabi Muhammad SAW. Semoga kita sebagai umatnya senantiasa terus berusaha untuk meneladani sifat-sifat beliau dan bersholawat hingga kelak mendapat syafaatnya di yaumul akhir. Aamiin.