Sejak dideklarasikan satu dekade lalu, wacana tentang Millennium Development Goals (MDGs) atau populer dalam bahasa Indonesia disebut Sasaran Pembangunan Milenium mendapat perhatian serius dari berbagai negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Program yang dideklarasikan oleh 189 negara ini menargetkan kemakmuran dan pembangunan masyarakat dunia secepatnya pada tahun 2015. Salah satu butir penting dalam MDGs adalah program pengentasan kemiskinan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia menghadapi tantangan cukup berat dalam mencapai sasaran bersama MDGs tersebut. Apalagi ketika MDGs dicanangkan, Indonesia masih belum pulih dari krisis moneter dan transisi demokrasi.
Isu kemiskinan dan pemerataan pembangunan menjadi wacana utama yang selalu menghiasai pemberitaan berbagai media di Tanah Air. Grafik kemiskinan di negeri ini masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Seakan kemiskinan adalah sebuah produk pembangunan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Pembangunan semestinya melahirkan kemakmuran. Pembangunan semestinya dapat mengangkat jutaan masyarakat dhuafa dari garis batas kemiskinan.
Empat tahun menjelang batas akhir MDGs, angka kemiskinan di negeri ini masih tergolong tinggi, meskipun Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan. Tahun ini BPS menyebutkan tingkat kemiskinan di negeri yang kaya ini mencapai 30,2 juta penduduk, sedangkan yang hampir miskin mencapai 27 juta penduduk. Artinya, kelompok masyarakat lemah yang harus tersentuh program pembangunan dan pemberdayaan sebenarnya mencapai 50 juta jiwa lebih.
Setali tiga uang dengan kemiskinan, ironi ketidakmerataan pembangunan juga menjadi pekerjaan rumah bangsa ini yang belum terselesaikan. Kantong-kantong kemiskinan di negeri ini justru banyak terjadi di daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Sebagai contoh, dengan nilai eksploitasi 1,1 juta barel per hari, Riau menjadi pemasok kebutuhan minyak bumi terbesar untuk suplai nasional, angkanya sebesar 70 persen. Akan tetapi, dalam daftar kemiskinan, Riau merupakan provinsi ke-13 termiskin. Tidak jauh berbeda, NAD yang mempunyai cadangan gas dan minyak terbesar, menduduki peringkat ke-4 daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. Begitupun dengan Papua dan Kaltim yang juga masuk dalam daftar daerah miskin.
Salah satu bentuk ketimpangan ekonomi terlihat dalam survei yang dibuat sebuah lembaga riset di tahun 2006, didapatkan hanya 40 persen kelompok termiskin Indonesia yang mampu menikmatishare pertumbuhan ekonomi sebesar 19,2 persen. Sementara 20 persen kelompok masyarakat terkaya di Indonesia menikmati 45,72 persen dari pertumbuhan ekonomi yang berlangsung. Ini, sekali lagi, tidak saja menunjukkan tentang fakta kemiskinan, tetapi juga realitas ketimpangan kemakmuran yang masih cukup besar di Indonesia.
Penawar ala Islam
Teringat tentang cerita kejayaan dan kemakmuran di masa kekhlifahan Umar Bin Abdul Aziz. Cerita tentang kehebatan Sang Khalifah dalam pengelolaan keuangan negara dan pengentasan kemiskinan bukan lagi rahasia umum. Bukan saja masyhur di kalangan kaum muslimin, para orientalis pun mengakui hal tersebut. Cerita tentang kemakmuran sebuah negeri dengan pemerataan distribusi kekayaan yang adil. Kemakmuran yang dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat. Sampai-sampai petugas negara yang bertugas membagikan zakat, kebingungan untuk mencari mustahik pada suatu masa tertentu.
Cerita kemakmuran di masa Khalifah Umar bin Abdul Azis ini, sesungguhnya adalah cerita tentangthe power of zakah. Distribusi harta dan kekayaan yang adil dapat memproduksi tidak saja pembangunan, tapi juga kemakmuran.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tidak berlebihan jika mentransformasikan zakat dari sebatas nilai dan kewajiban relijius dalam masyarakat Islam menjadi salah satu instrumen penting pembangunan ekonomi Indonesia. Sebuah riset yang dilakukan lembaga kajian zakat, Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) dua tahun lalu menyimpulkan, pemanfaatan zakat sebagai salah satu instrumen dalam menangani kemiskinan di Indonesia selama ini masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. IMZ menilai hal ini tidak terlepas dari masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap dunia perzakatan Indonesia, serta kurangnya data dampak peran zakat terhadap penanggulangan persoalan kemiskinan.
Survei itu meneliti tingkat efektifitas pemberdayaan zakat terhadap pengentasan kemiskinan. Survei dilakukan terhadap 4,646 populasi rumah tangga penerima zakat di Jabodetabek dari 8 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Kesimpulannya, dana zakat yang diberikan dalam bentuk program pemberdayaan, dapat mengurangi jumlah kemiskinan mustahik sebesar 10,79 persen. Karena itu sudah semestinya pemerintah saat ini mempertimbangkan kembali pentingnya menjadikan zakat sebagai instrumen penting pembangunan perekonomian nasional dan peningkatan devisa negara di samping instrumen fiskal atau ekonomi lainnya.
Sebab pengalaman di sejumlah negara, Malaysia misalnya, penerapan kebijakan zakat yang tepat ternyata mampu mendorong pembangunan perekonomian negara bersangkutan.
RUU Zakat
Setelah menjalani proses pembahasan dan perdebatan cukup panjang, RUU Pengelolaan ZIS revisi terhadap UU No 38 Tahun 1999 segera diketuk palu. Terlepas dari sejumlah poin perdebatan krusial dalam RUU tersebut selama ini, satu hal yang mesti diapresiasi adalah kesamaan semangat dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap RUU tersebut untuk menjadikan zakat sebagai ‘pemain penting’ dalam sistem pembangunan nasional, tidak lagi dipahami sebatas pelaksanaan kewajiban agama.
Ada kesamaan semangat yang terakomodir dalam RUU untuk merapihkan kembali tata kelola perzakatan nasional, agar zakat tidak saja menjadi satu unsur pendorong pembangunan, tapi juga instrumen percepatan pengentasan kemiskinan dan memproduksi kemakmuran.
Melalui RUU Zakat yang baru ini, diharapkan pengelolaan dana zakat sebagai dana amanah publik dapat dikelola secara lebih profesional, dan adil. Hanya saja setelah disahkannya RUU ini, pelaksanaan mandat undang-undang tersebut tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu penyelarasan dan penyesuaian dengan berbagai perangkat undang-undang lain yang terkait.
Semoga RUU Pengelolaan ZIS yang akan disahkan nanti, menjadi pintu bagi pembuktian zakat sebagai instrumen pembangunan nasional yang tepat, percepatan program pengentasan kemiskinan, dan produksi kemakmuran. Sehingga target pemerintah melalui MDGs pun dapat tercapai maksimal.