Apabila berbicara mengenai Baitul Maqdis maka ingatan kita selalu melekat dengan Palestina, sebuah negeri yang penuh keberkahan nan kaya dengan sejarah islam yang panjang. Bagaimana sejarah baitul maqdis dan perkembangannya? Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi Baitul Maqdis dari Bani Israil pernah berkuasa hingga perjuangan saat ini untuk terbebas dari penjajah yahudi-zionis-israel.
Daftar Isi
Sejarah Baitul Maqdis
Baitul Maqdis merupakan salah satu kota tertua di dunia yang telah dihuni sejak sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi. Dalam perspektif Islam, Baitul Maqdis menduduki posisi yang istimewa. Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa pernah singgah dan bertempat di kota ini dengan tujuan untuk menyebarkan dakwah tauhid. Lebih dari itu, kota yang sering disebut Yerusalem ini memiliki arti penting sebagai tempat kelahiran Masjid al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.
Salah satu landmark terkenal masjid al-aqsa yaitu Qubbat ash-Shakhrah (Dome of the Rock), sebagai tempat di mana Nabi Muhammad SAW berpijak sebelum perjalanan Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Bahkan dalam Al-Quran, pada surah al-Isra ayat pertama, perjalanan Isra-Mi’raj Rasulullah SAW ini secara tegas menyebutkan nama Masjid al-Aqsha (dalam artian harfiah, ‘masjid yang terjauh’).
Abdallah el-Khatib, dalam artikelnya “Jerusalem in the Qur’an” pada British Journal of Middle Eastern Studies Mei 2001, menjelaskan bahwa Al-Quran menyebutkan nama Baitul Maqdis (Yerusalem) sebanyak 70 kali. Penjelasan ini dijelaskan dengan baik secara tegas maupun secara implisit, tersebar dalam 21 surah. Ini termasuk istilah-istilah seperti “tanah suci” (al-‘ardhu al-muqaddasat), “tanah yang diberkati”, dan “kota yang diberkati. Diantaranya dalam surah al-Maidah ayat 21, surah al-A’raf ayat 137, ayat 71, dan ayat 81 surah al-Anbiya, serta ayat 18 surah Saba’. Kita dapat menemukan referensi kepada Baitul Maqdis dalam Al-Quran sebagai tanah yang diberkati.
يٰقَوْمِ ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خٰسِرِيْنَ
Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Baitulmaqdis) yang telah Allah tentukan bagimu dan janganlah berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah [5]: 21)
Baca Juga: Pentingnya Mengenal Sejarah Islam dan Korelasinya dengan Perjuangan Rakyat Palestina
Bani Israil dan Baitul Maqdis
Bani Israil Kaum yang Membangkang
Dalam perspektif Islam, sejarah Baitul Maqdis dapat ditelusuri kembali pada peristiwa bersejarah Bani Israil meninggalkan Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa. Surah Al-Maidah mengisahkan bagaimana Bani Israil saat itu menolak perintah Allah untuk berjuang merebut kota tersebut. Allah telah menceritakan dalam surah al-Maidah ayat 24,
“Pergilah kamu (Nabi Musa) bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”
Akhirnya, dalam perjalanan sejarah yang berlangsung beberapa dekade, Bani Israil tidak dapat mencapai Baitul Maqdis hingga munculnya Nabi Yusya bin Nun. Di bawah komando seorang murid Nabi Musa, sebagian Bani Israil bangkit untuk menghadapi bangsa Filistin dalam upaya merebut Baitul Maqdis, dan meskipun keberhasilan ini tidak bertahan lama.
Kemenangan Sementara di Baitul Maqdis
Barulah sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi, Bani Israil bersiap untuk kembali memperjuangkan hak mereka. Kali ini, mereka menghadapi bangsa Filistin yang dipimpin oleh Goliath (Al-Qur’an menyebutnya dengan Jalut), sementara Bani Israil berada di bawah komando Thalut.
Nabi Daud yang masih muda, muncul sebagai pahlawan karena berhasil mengalahkan Jalut. Seketika itulah sebagian kecil, wilayah Palestina dikuasi oleh Thalut. Setelah pemimpin Thalut meninggal, Nabi Daud mengambil alih kepemimpinan Bani Israil.
Selama masa kepemimpinan Nabi Daud, Bani Israil mulai membangun kembali Baitul Maqdis, termasuk mendirikan pusat peribadatan didalamnya. Dia dianggap sebagai pendiri kerajaan Bani Israil di Palestina yang sesungguhnya. Pada era inilah dakwah Tauhid menyebar ke seluruh Palestina yang dijuluki tanah yang diberkati. Kedamaian dan keadilan sangat dijunjung tinggi, dan sebagai Nabiyullah, Nabi Daud as dengan kitab Zaburnya dikaruniai oleh Allah ilmu dan kebijaksanaan. Allah juga telah menjelaskan kondisi zaman tersebut dalam firmannya, pada surat Shad dan surat Saba’.
Pasca Nabi Daud as meninggal, kepemimpinan Bani Israil dilanjutkan oleh puteranya, Nabi Sulaiman as. Pada masa Nabi Sulaiman inilah, Bani Israil mencapai titik kejayaan dengan kemakmurannya. Pemerintahan Sulaiman ini berlangsung 40 tahun dengan membangun peradaban yang modern pada zamannya. Ia berhasil membangun bangunan yang indah, istana yang megah, benteng-benteng yang kokok termasuk pembangunan Kuil yang memperkerjakan banyak ahli bangunan dan pemahat. Kuil inilah yang saat ini diyakini oleh umat yahudi sebagai tempat “pulangnya” messiah mereka (read: Umat muslim menyebutnya Dajjal) yang perlu dibangun kembali. Kejayaan Bani Israil dibawah kepemimpinan Nabi Sulaiman as, Allah abadikan dalam Surat An-Naml dan Al-A’raf.
Kehancuran Bani Israil
Pasca kepemimpinan Nabi Daud Alaihissalam dan Nabi Sulaiman Alaihissalam mengambil tahta kekuasaan selama 80 tahun. Sejak tahun 923 SM kerajaan Nabi Sulaiman terbelah menjadi dua negara yang saling bertikai. Pertama, negara Yehuza (Judah) di Selatan dengan ibu kota Jerusalem (al-Quds). Negara ini dipimpin oleh Rehoboam ibn Sulaiman. Ia dibaiat dan didukung oleh dua suku Bani Israil, yaitu Yehuza dan Benyamin yang tinggal-berdomisili di wilayah Selatan dan di sekitar Yerusalem. Namun pada tahun 606 SM Yehuza diserbu oleh Nebukhadnesar sehinga banyak penduduk yang terbunuh dalam serangan tersebut. Raja terakhir yakni Yahwakin ibn Bawakim dan keluarganya juga diasingkan ke Babilonia, Irak.
Selain kedua suku Bani Israil tersebut, terdapat 10 suku Bani Israil yang menolak kepemimpinan Rehoboam Ibn Sulaiman. Termasuk wilayah Syakim yang menganggap kepemimpinanya yang kasar dan penuh ancaman. Penolakan ini membuat mereka membaiat pemimpin lain dari suku Ephream dan membuat kerajaan baru bernama “Israel” dengan ibu kota yang berpindah-pindah dari Syakim, Terzah, hingga terakhir di Samirah. Kerajaan ini berkembang dari 923-723 SM dan menempati 72% wilayah Bani Israil. Keruntuhan dan hilangnya kerajaan ini terjadi setelah diserbu oleh pasukan Sargon II, raja Assyria, dengan rajanya yang terakhir adalah Hosea ibn Elah. Ia membuat kebijakan agar seluruh suku Bani Israil diasingkaan dan ditempatkan di lembah sungai Eufrat. Pada tahun 586 SM, Sargon II juga menyerbu Babilonia, Irak tempat pengasingan pemimpin Yehuza yang memberontak. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Israil saat itu.
Baitul Maqdis Setelah Kekuasaan Bani Israil
Setelah Palestina diakuisisi oleh Babilonia, “Tanah yang dijanjikan” yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ini berulang kali terjadi pergantian kepemimpinan, termasuk umat muslim yang berkuasa selama kurang lebih 12 abad lamanya. Berikut urutan kerajaan atau negara yang pernah menduduki Baitul Maqdis setelah runtuhnya kerajaan Bani Israil.
- Kerajaan Babilonia (586-538 SM)
- Kerjaan Persia (538-330 SM)
- Kerajaan Yunani (330-200 SM)
- Dinasti Seleucid (200-167 SM)
- Dinasti Seleucid dan Maccabee (167-63 SM)
- Imperium Romawi (63-638 M)
- Daulah Islamiyah/Kepemimpinan Islam (638-1917 M)
- Imperialisme Inggris (1917-1948 M)
- Zionis-Israel (1948- Sekarang)
Berdasarkan urutan ini dapat kita ketahui terdapat Zionis-Israel yang merupakan representatsi Bani Israil modern. Hal ini menunjukan untuk kedua kalinya Bani Israil saat ini menguasai Baitul Maqdis, seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an ayat 4-6. Mereka akan menguasai dengan merusak muka bumi sebanyak dua kali, dan masing-masing akan dibalas dengan kekuatan besar.
(4) وَقَضَيْنَآ اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ فِى الْكِتٰبِ لَتُفْسِدُنَّ فِى الْاَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيْرًا
(5) فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ اُوْلٰىهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَآ اُولِيْ بَأْسٍ شَدِيْدٍ فَجَاسُوْا خِلٰلَ الدِّيَارِۗ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُوْلًا
(6) ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَاَمْدَدْنٰكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَجَعَلْنٰكُمْ اَكْثَرَ نَفِيْرًا
Kami wahyukan kepada Bani Israil di dalam Kitab (Taurat) itu, “Kamu benar-benar akan berbuat kerusakan di bumi ini dua kali dan benar-benar akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” Apabila datang saat (kerusakan) yang pertama dari keduanya, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Itulah janji yang pasti terlaksana. Kemudian, Kami memberikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka, membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan menjadikanmu kelompok yang lebih besar. (QS. Al-Isra'[17]:4-6)
Baca Juga: Mengetahui 6 Kisah Nabi dari Palestina
Keberkahan Baitul Maqdis
Saat ini, sorotan dunia semua tertuju pada Palestina, salah satu wilayah di Negeri Syam yang dianggap sebagai tanah yang diberkahi. Tidak ada keraguan bahwa Negeri Syam dianggap sebagai tanah berkat di seluruh dunia.
Kebaikan yang ada dalam negeri ini mencerminkan kebaikan seluruh umat manusia, sementara kejahatan yang terjadi di sana menjadi simbol kejahatan yang merasuki seluruh dunia. Namun, apa yang kita saksikan saat ini adalah penindasan hak asasi. Manusia dan pelanggaran kemanusiaan yang terus menghiasi berita internasional, dengan dukungan dari negara-negara yang berkuasa.
Negeri Syam, yang mencakup Palestina, Suriah, Libanon, dan Yordania, dikenal sebagai tanah para nabi, tempat berkumpulnya para cendekiawan dan orang-orang bijak, serta menjadi tempat pertemuan seluruh umat manusia. Negeri ini juga memiliki makna penting sebagai tempat pertahanan yang kokoh dan sebagai qiblat pertama bagi umat Muslim. Hal ini diungkapkan oleh ulama Palestina-Saudi, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam tulisannya yang berjudul “Thuubaa Lis Syaam” (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaiykan, 2013).
Bumi Syam telah disinggung dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 1
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Isra [17]:1)
Menurut para ahli tafsir, inilah makna “Alladzii baaraknaa haulahu” (Kami berkahi sekelilingnya) adalah negeri-negeri seputar Baitul Maqdis yang diberkati. (QS: Al-Isra’ [17]: 1).
Sayap Malaikat Terbentang di Bumi Syam
Sejarah membuktikan bahwa Baitul Maqdis adalah sebuah kota yang bersejarah, menjadi pusat perhatian selama berabad-abad. Bahkan tokoh-tokoh besar seperti Khalifah ‘Umar bin Khaththab dan Panglima Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah terlibat dalam membebaskan kota ini dari imperium Romawi.
Pada masa Sulthan ‘Imaduddin Zanki dan puteranya Sulthan Nuruddin Mahmud Zanki, Baitul Maqdis berhasil melepaskan diri dari penjajahan Eropa. Puncak keberhasilan terjadi pada masa Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi, yang berhasil mengalahkan pasukan Salib setelah umat berjuang selama setengah abad sejak zaman Abu Hamid al-Ghazali menulis kitab Ihyaa ‘Uluumiddin.
Baitul Maqdis juga merupakan bagian yang diberkahi karena Bumi syam merupakan wilayah yang dinaungi oleh malaikat. Beberapa riwayat tentang hal ini bisa dilihat dalam kitab Al-Israa’ wal Mi’raaj karya Imam As-Suyuthy dan Ibnu Rajab al-Hanbaly. Diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Berbahagialah bagi (penduduk) Syam, beruntunglah bagi (penduduk) Syam”. Aku bertanya apa alasannya? Beliau menjawab, “(Karena) para malaikat mengepakan sayap (menaungi) Negeri Syam.”
(HR: at-Tirmidzi dan Ahmad).
Perjuangan Baitul Maqdis Masih Terus Berlanjut
Perkembangan selanjutnya membawa tantangan besar bagi Baitul Maqdis dan Palestina. Zionis ‘Israel’, dengan tokohnya Theodore Herzel pada tahun 1897, mengadakan Kongres Zionis Internasional pertama dan mencoba membeli tanah Palestina dari Khilafah Turki Utsmani, tetapi usahanya ditolak. Dengan dukungan negara-negara Eropa dan diaspora Yahudi di seluruh dunia, mereka mulai mendirikan basis di Palestina.
Inilah awal mula runtuhnya kejayaan islam yang disebabkan perpecahan umat. Keikutsertaan pemerintah Ustmani dalam perang dunia I yang tergabung bersama blok poros mengalami kekalahan. Wilayah islam dilakukan pembagian sewenang-wenang oleh blok sekutu dengan disepakatinya perjanjian Sykes-Picot di tahun 1916 antara Inggris dan Perancis.
Setelah adanya perjanjian tersebut, sejarah juga mencatat adanya Deklarasi Balfour yang semakin menguntungkan pihak yahudi untuk mewujudkan negara sendiri. Puncaknya terjadi pada tahun 1948 yang dikenal sebagai Peristiwa Nakba (pengusiran besar-besaran) setelah diproklamirkannya negara penjajah ‘Israel’ menguasai sebagian besar wilayah Palestina.
Pengusiran ini memicu gerakan perlawanan, termasuk Intifada, kemunculan Hamas, dan kelompok-kelompok perlawanan lainnya. Putra dan putri terbaik Palestina mulai menggalang kekuatan untuk merebut kembali tanah mereka yang telah dijajah.
Perjuangan hingga saat ini mencerminkan cinta yang mendalam dari kaum Muslim untuk menjaga warisan dan wakaf umat, yaitu tanah Palestina dan juga Baitul Maqdis. Keduanya merupakan jantung Negeri Syam yang dianggap oleh Yahudi sebagai “Tanah Kan’an yang dijanjikan Tuhan,” dengan alasan klaim atas Hak Milik Kuil Sulaiman.
Tidak hanya itu, ada juga upaya untuk mengusung gagasan “Satu Kota Suci Tiga Agama” dengan tujuan menciptakan kerukunan agama dan perdamaian dunia. Ma’rakah Falasthiin telah menjadi sejarah dengan keberanian tokoh dan ulama serta pengorbanan syuhada dan dukungan rakyatnya. Semua ini menunjukkan bahwa Negeri Syam adalah tempat pertaruhan di akhir zaman di mana tanda-tanda kekuasaan Tuhan akan muncul setelah perjalanan sejarah yang panjang.
Kontribusi Perjuangan Semampu Kita
Mungkin tidak semua dari kita mampu berjuang di medan perang untuk memerjuangkan kemerdekaan Palestina. Namun kita dapat memberikan dukungan dan simpati serta doa-doa terbaik sebagai amunisi yang berharga. Sebagaimana yang diceritakan oleh Dr. Mohammad Natsir dalam bukunya, Rabithah al-‘Aalam al-Islamy telah berusaha mendamaikan Negara Arab. Namun seringkali negara-negara Arab lebih memilih berjuang sendiri melawan ‘Zionis Israel’ sementara lawan mereka terus berusaha memecah belah dan menciptakan perselisihan.
Natsir menjelaskan bahwa apabila ‘Zionis Israel’ menggusur Masjidil Aqsha dan mendirikan Kuil Yahudi, negara-negara Arab hanya memiliki dua pilihan terakhir, yaitu hancur sama sekali atau berjuang dengan segenap kemampuan.
Menurut Natsir, yang sedang kita hadapi bukan hanya masalah tanah Palestina saja, tetapi juga gerakan agama yang melibatkan Zionisme, Nasrani, dan Komunisme. Ia menekankan bahwa satu-satunya cara untuk kita bisa menghadapi ‘Israel’ dan sekutunya adalah melalui keyakinan dengan adanya persatuan umat.
Palestina bukanlah masalah lokal, tetapi masalah Islam dan seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Terus dukung perjuangan pembebasan Palestina semampu kita untuk mengembalikan kejayaan 12 abad dibawah kepemimpinan islam yang penuh kedamaian.