Oleh : Ahmad Shonhaji
Zakat menjadi satu kewajiban bagi seorang muslim yang diberikan kelebihan harta untuk berbagi kepada kaum Dhuafa. Sehingga kewajiban berzakatpun menjadi salah satu pilar dalam rukun Islam. Dua hal penting dalam berzakat, membangun kesholehan individu, strategi muroqobah seorang hamba dengan Tuhannya dan menambah Kecerdasan dan Kesholehan Sosial sebagai makhluk social yang berbagi peduli dengan lingkungan dan orang miskin. Melihat potensi zakat yang sarat pesan dan makna maka kewajiban berzakat pada zaman Rosulullah dimulai pada Tahun kedua hijriyah. Prinsip zakat yang diajarkan Rosulullah adalah mengajarkan berbagi dan peduli terus dilanjutkan oleh Kholifah Abu Bakar Shiddiq yang memiliki keberanian memerangi mereka yang ingkar zakat.
Pada awal pertumbuhan konsep baitulmaal yang diinisiasi oleh Kholifah Umar bin Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama mengangkat harkat dan martabat kaum Dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada masyarakat.
Pada masa Umar bin Khattab sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai Gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi Ketua Amil Zakat di Yaman. Konsekwensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan karena system dan infrastruktur yang sudah established. Pada tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu khalifah umar mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam system kebijakan zakat pada saat itu. Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan ½ dari surplus zakatnya ke pemerintah pusat. Dan Subhanallah pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin. Paradigma merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi ketika pengelolaan zakat didukung dengan managemen professional dan system kebijakan pemerintah yang komprehensip dan bermuara pada kepentingan kesejahteraan mustahik.
Hal dan kondisi seperti inipun terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi Zakat, Infaq, shadaqoh dan wakaf sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan di negerinya. Hal ini terbukti hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan pengelolaan dan system yang professional, komprehensip dan universal membuat negerinya makmur dan sejahtera tanpa ada orang miskin di negerinya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Satu kondisi yang berbeda dengan negeri kita dimana orang berebut hanya untuk menerima zakat, meski nyawa taruhannya. Mindset dan izzah prilaku muslim yang perlu menjadi perhatian bersama antara muzaki dan mustahik.
Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah. Lalu Yazid menjawab:”sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di Baitulmaal”. Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata:”kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di Baitul Maal masih berlimpah. Pada akhirnya Umar bin Abdul memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya.
Strategi pengelolaan dan distribusi dana zakat yang semuanya berorintasi pada berlipatgandanya pahala muzaki dan peningkatan kesejahteraan para mustahik. Untuk menjadi satu kekuatan dan menjadi daya dobrak bahwa zakat mampu menjadi solusi dan bukan sekedar alternative pada pengentasan kemiskinan perlu urun rembug dan sinergi multistakeholder serta para pembuat kebijakan di tingkat pemerintahan. Sehingga potensi zakat dan kuantitas muslim Inonesia bukan hanya menjadi wacana kepedulian namun mutlak mampu menjadi solusi pengentasan kemiskinan. Wallahu a’lam bis Showab.