Bulan mulia telah berlalu, penghujung Ramadhan dengan segala keriuhannya juga sudah kita lewati. Sekarang, sudah berada di bulan Syawal. Namun tak mengapa penghujung Ramadhan kita jadikan refleksi kembali.
Ada dua keriuhan saat di penghujung ramadhan. Keriuhan orang yang sibuk mengurusi fisik dhohir, seperti pulang mudik, membeli perlengkapan lebaran, menyiapkan uang untuk sanak family serta keriuhan mengurusi rohani batin.
Baca Juga: Amalan Wanita Haid Saat Ramadhan
Disini kita akan belajar bahwa Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita meneruskan keistiqmahan dalam beragama. Orang-orang pada umumnya mengenal Ramadhan hanyalah sebagai fenomena saja, tanpa melihat efek dan bekasnya. Sepuluh hari terakhir bagi orang seperti ini justru semakin bahagia dengan segala kebutuhan fisiknya. Namun berbeda dengan orang-orang yang memanfaatkan Ramadhan sebagai ajang untuk meningkatkan ketaqwaan, mereka merasa sedih ditinggalkan Ramadhan.
Daftar Isi
Mengapa Orang-Orang Shalih sedih ditinggal Ramadhan?
Di penghujung Ramadhan orang-orang Shalih merasa bersedih. Hal ini kita bias menerka beberapa alas an mengapa mereka bersedih.
Pertama, orang-orang shalih memandang Ramadhan dari sisi keutamaannya. Mereka menyadari, ketika ramadhan akan pergi, maka pergi pula seluruh keutamaan dan keberkahannya.
Seperti yang kita tahu, tidakkah Ramadhan bulan yang paling meriah berkah, yang mana pintu-pintu neraka ditutup dan pintu surge dibuka seluas-luasnya. Tidakkah syetan dibelenggu? Sehingga kita sangat ringan melaksanakan ibadah dan berbuat kebaikan. Sangat kentara bukan, diri kita bisa bersadaqah dengan tanpa perhitungan duniawi, dan perhitungan untung rugi. Seakan-akan kita dimudhakan Allah untuk berbuat ikhlas.
Kalau dalam hadis disebutkan bahwa,
“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surge dan dituuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu…” (HR.Ahmad)
Selain itu, kita mengetahui bahwa seluruh amal ibadah sunnah diganjar laiknya pahala ibadah wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?
Keutamaan seperti ini hanya dapat ditemui di Ramadhan. Hanya akan dating lagi setahun kemudian. Padahal tidak ada yang dapat memastikan, apakah diri kita masih hidup dan sehat di Ramadhan selanjutnya. Maka pantas saja orang-orang shalih merasa sedih, berada di penghujung Ramadhan.
Kedua, melihat Ramadhan sebagai peringatan. Tidakkah Rasulullah mengingatkan bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diamouni seluruh dosa-dosanya.
Ketika seseorang sudah menemukan Ramadhan dan mampu menghirup kesegaran udara (masih hidup) , sebulan bersama dengan peluang yang begitu besar,penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, maka bukankah orang seperti itu sangat merugi. Bahkan celaka. Naudzubillah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakin Dan Thabrani disebutkan,
“Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni,” (HR. Hakim dan Thabrani).
Kemudian, yang menjadi masalah adalah, apakah seseorang dapat memastikan bahwa dirinya mendapatkan ampunan? Padahal jika ia tidak mendapatkannya, ia termasuk orang yang celaka.ini kemudian yang tidak dapat dipastikan dan menyentuh hati orang-orang shalih. Mereka merasa takut (khauf) jika tidak mendapatkan ampunan, padahal penghujung Ramadhan di depan mata. Mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya dan terus bermunajat kepada Allah, agar ampunan benar-benar datang merangkulnya.
Bahkan konon, tangsinya orang shalih akan kepergian ramadhan sampai berlarut enam bulan setelahnya. Kemudian enam bulan lagi mereka berdoa agar dipertemukan kembali di Ramadhan yang akan datang.
Apa yang sering kita rasakan di Penghujung Ramadhan?
Jelas sekali, ini lah saatnya kita melihat perbedaan pandangan dan sikap antara kita dan orang-orang shalih di akhir Ramadhan. Kita sering lalai bukan, berbelanja untuk menyambut idul fitri serasa lebih asyik. Menunggu THR (tunjangan hari raya) dari tempat kita bekerja serasa lebih penting, sedangkan orang-orang shalih menikmati I’tikaf di sepuluh hari terakhir.
Maka, marilah kita bayangkan betapa kekhusyukan para sahabat di era Rasulullah, tentu masjid lebih ramai dan penuh sesak dari pusat perbelanjaan.
Baca Juga: Doa dan Ucapan Lebaran Berbagai Bahasa
Membahas perbedaan generasi tentu harus kita sesuaikan konteks waktu dan tempatnya. Di Indonesia, akhir Ramadhan menjadi sangat ribet karena mengurusi mudik di kampong halaman juga. Secara lahiriyah, kita tetap harus mengurusi hal-hal sperti mudik, kue lebaran, menghias rumah dan lain sebagainya. Namun yang tak kalah penting juga menguatkan rohani kita, dan mengencangkan ikat pinggang kita, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang malam.
Lantas dengan budaya lahir yang tidak bisa kita elakkan seperti ini, apakah mungkin kita dapat tetap fokus beribadah di akhir Ramadhan? Tentu sangat bisa. Semua hanya bukankah itu hanya persoalan manajemen waktu?
Jika kita sebagai orang Indonesia, ingin tetap bisa mudik dan menyiapkan semaksimal mungkin lebaran kita baik lahir dan batin. Janganlah menumpuk kegiatan lahiriah di penghujung Ramadhan saja. Atur agenda kapan harus menyiapkan baju lebaran, kapan harus merapikan rumah, kapan harus menyiapkan barang-barang sebelum mudik. Semua bisa diatur saat 20 hari pertama bukan? Sehingga kita benar-benar bisa memaksimalkan sepuluh hari terakhir. Hari-hari penuh kemuliaan di Ramadhan.
Rahasia Mengapa Perlu Perhatian Lebih di Penghujung Ramadhan
Rasulullah mengencangkan ikat pinggangnya (semangat beribadahnya) di sepuluh hari terkahir karena terdapat sebab-sebabnya. Berikut rahasianya;
Sebab pertama, karena sepeluh hari terakhir merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan seluruh ibadah dan amal perbuatan tergantung pada akhirnya. Rasulullah berdoa,
“Ya Allah, jadian sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pemungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu kelak.”
Ini adalah tuntunan bagi kita, bahwa hidup berbicara mengenai proses menuju akhir yang baik. Bukan hanya dilihat dari cover depan saja. jadi yang terpenting yaitu hendaknya setiap manusia menakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena bisa jadi seseorang yang jejak hidupnya melakukan kebaikan, namun ia memilih mengakihri dengan keburukan. Semoga kita terhindar dari hal itu.
Inilah pelajaran, bahwa grafik amal ibadah serta perenungan kita harus meningkat di penghujung Ramadhan.
Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan merupakan turunnya malam lailatul qadar.
Mari kita renungkan esensi Ramadhan,
Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walakin kuunuu Rabbaniyyan
Artinya: “Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya)”
Biasanya, kita tanpa menyadari menjadi hamba Ramadhan. Kita sangat betah beribadah, mengaji dan sangat mudah beramal sholih lainnya. Namun, selepas Ramadhan kita sedikit demi sedikit meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.
Perlu kita garis bawahi bahwa tujuan kita beribadah adalah Ridha Allah SWT. Di bulan Ramadhan, meramaikan sepuluh malam terakhir merupakan tambang amal untuk bekal sebelas bulan kemudian, dan menjadi motivasi bahwa kita harus terus bersyukur dan meningkatkan ketaqwaan.
Belajar dari I’tikaf
Amal ibadah yang sering dibahas di penghujung Ramadhan adalah itikaf. Marilah kita ambil hikmah dari ibadah ini.
Pertama I’tikaf, berdiam diri di rumah Tuhan. Berdiam diri, merenung merupakan sebuah kemewahan kata KH. Mustofa Bisri. Beridam diri dan merenung saat ini dapat dikatakan kegiatan yang mewah karean sedikit orang yang mampu melakukannya. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan kegiatan sama sekali. Padahal bulan suci Ramadhan merupakan satu-satunya waktu yang tepat dan paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra, gaya dan nuansa ukhrawinya sangat kentara dibandingkan bulan lainnya.
Baca Juga: Panduan Itikaf: Bacaan dan Tata Cara Lengkap
Namun boleh jadi karena kita sangat minim perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita merasa amal dan ibadah kita yang Nampak dari lahiriyah bertambah banyak, secara otomatis kita telah berada dalam rahmat-Nya.
Padahal, jika kita salah merasa dan beranggapan bahwa kita sudah baik dan benar lantas meninggalkan kebenaran dan kebaikan orang lain. Bahkan, mampu menilai sesorang bahwa mereka adalah orang yang kafir, munafik sedangkan kita adalah orang yang baik dan bertaqwa, justru bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan perlunya perenungan.
Artikel ini merujuk pada artikel di nu.or.id dan wahdah.or.id (Zainal Abidin)