Merujuk pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Lantas, bagaimana para ulama merumuskan penjelasan tentang nasab anak hasil zina ayah dan ibu sebelum mengikat janji suci?
Ulik lebih lengkapnya di ulasan berikut ini!
Daftar Isi
Pertanyaaan
Assalamu’alaikuwarahmatullahiwabarakatuh
Jika seorang wanita mengalami kehamilan pranikah kemudian dinikahkan dengan pria yang menghamilinya, apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam sedangkan pasangan berhubungan badan dan wanita mengandung janin ketika pernikahan berlangsung?
Baca Juga: Bolehkah Kita Tidak Berpuasa karena Khawatir terhadap Anak?
Kemudian apabila si anak dalam kandungan nanti lahir bagaimanakah nasab anaknya,dan apakah dia berhak atas warisan dari kedua orang tuanya? Mohon penjelasan tentang nasab anak hasil zina ini. Terima kasih.
Wassalamu’alaikuwarahmatullahiwabarakatuh
Jawaban
Wa’alaikumsalamwarahmatullahwabarakatuh
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah
Saudara yang dirahmati Allah SWT. Pada kasus melakukan hubungan badan (zina) sebelum nikah, lalu perempuan hamil, maka para ulama berbeda pendapat tentang bolehkah menikahi wanita yang hamil.
Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Menurut Madzhab Maliki dan Hambali
Para ulama dari kalangan madzhab maliki dan hambali berpandangan tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena zina. Baik yang menikahi itu lelaki yang menghamili atau bukan. Bila keduanya menikah, tidak boleh melakukan hubungan intim dan harus akad lagi ketika anak dalam kandungan itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada teks eksplisit ayat yang menyebutkan bahwa ‘iddah wanita hamil itu sampai melahirkan.’
Baca Juga: Hukum Berzina Pada Siang Hari Bulan Ramadhan
Para ulama ini juga berhujjah dengan hadist Rasulullah SAW, “tidak boleh melakukan hubungan dengan wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.”
Madzhab Syafi’i
Sedangkan, ulama dari kalangan madzhab syafii berpandangan boleh menikahi wanita yang hamil karena zina, sebab air mani yang ada dalam wanita itu tidak memiliki kemuliaan sehingga dianggap tidak ada. Jadi boleh menikah dengannya.
Kasus Hukum Nasab Anak Hasil Zina Menurut Ulama
Jika lelaki dan wanita yang hamil karena zina itu menikah, sedangkan anaknya itu hasil dari hubungan keduanya sebelum menikah, para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang nasab anak hasil zina. Sebagian besar ulama berpandangan bahwa anak itu dinisbatkan kepada ibu kandungnya. Ia tidak saling mewarisi dengan ayahnya. Ayahnya juga tidak bisa menjadi wali. Hubungan keduanya seperti hubungan ayah tiri, walaupun secara biologis anak itu adalah darah dagingnya. Para ulama tersebut berhujjah dengan hadist Rasulullah SAW,
“al-walad lilfirasy walil’ahiri al-hajr (anak adalah milik orang yang berhak atas wanita yang menjadi ibu bagi anak itu dan pelaku zina tidak mendapatkan apa-apa)”
Jadi, lelaki yang berhak secara sah terhadap wanita itulah yang berhak atas anaknya. Karena lelaki berzina itu tidak berhak atas wanita yang ia hamili, maka ia tidak berhak atas nasab anaknya.
baca juga: NASAB ANAK DI LUAR NIKAH, SIAPA WALINYA SAAT MENIKAH?
Di samping itu, para ulama tersebut berhujjah dengan hadits Rasulullah SAW,
“…dan apabila (anak itu) bukan dari wanita yang bukan miliknya atau dari wanita yang ia zinai, maka (anak itu) tidak dinisbatkan kepadanya dan tidak pula mewarisinya…”
(HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Darami.) Syaikh Al-Bani menghasankan derajat hadits ini.
Sebagian ulama berpandangan bila lelaki yang menikahi itu adalah lelaki yang menghamili, maka anak itu bisa dinisbatkan kepada ayahnya secara biologis. Menurut mereka, hadits yang menyatakan bahwa “al-walad lilfirasy (anak adalah milik orang yang berhak atas wanita yang menjadi ibu bagi anak itu)” berlaku ketika terjadi sengketa atas nasab anak. Apabila tidak ada sengketa, nasab bisa dinisbatkan kepada orang yang mengakuinya sebagai anak. Jadi bila lelaki itu menikahi wanita yang hamil karena dirinya, maka anak itu bisa dinisbatkan kepadanya.
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa pendapat yang kedua ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri berdasarkan para riwayat Ishaq ibnu Rahawaih. Hujjah atau dalil para ulama yang mengikuti pendapat ini adalah : kebijakan Umar bin Khattab menetapkan nasab orang-orang yang pernah hidup di masa jahiliah berdasarkan pada pengakuan mereka. Jadi, ketika A mengaku bahwa B adalah anaknya, maka Umar menetapkan B sebagai anak A.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang anak yang lahir dari perempuan yang berhubungan intim sebelum menikah tidak akan mendapatkan hak nasab ayah biologisnya. Menurut hemat saya, untuk konteks Indonesia, bila seseorang menikahi wanita yang pernah berzina dengannya dan mengandung anak biologisnya, lalu keduanya menikah sebelum anak itu lahir, secara administrasi ia bisa menjadi anak kandung atas ayahnya.
Hanya saja, dalam hal perwalian nikah dan hak waris mengikuti nasab ke ibu kandungnya. Untuk perwalian nikah, yang menjadi wali adalah hakim. Sedangkan untuk warisan, ayahnya bisa memberikan bagian pada anak tersebut lewat wasiat atau hibah. Dengan begitu, kehormatan keluarga tetap terjaga tanpa mengorbankan unsur kehati-hatian.
Akan tetapi, bila orang tersebut mengikuti pendapat yang kedua, menjadikan anak itu sebagai nasab anak hasil zina yang sah, hal tersebut tidak bisa kita larang atau kita sikapi dengan negatif. Dan memang, di antara ulama besar ada yang berpandangan seperti pendapat yang kedua di atas.
Wallahu a’lam.
Masih ada pertanyaan yang dipendam? Tumpahkan di layanan Tanya Ustadz. Lebih kenal dengan akidah Islam, klik di sini atau banner di atas, ya!